Selasa, 11 Januari 2011

Cerpen: IBUKU BERASAL DARI SUKU MOOI

Tidak selamanya kata sayang harus diungkapkan dengan kalimat "Aku sayang padamu." Dimulai dari orang terdekat yang sangat mencintai kita. Ibu. Walau mereka tak pernah meminta. Percayalah kata-kata itu akan membuat mereka sangat berarti dan bahagia…
Untuk semua Ibu yang mencintai anak-anaknya dan semua anak yang mencintai Ibunya.

***

Berawal dari cerita ibunya tentang keluarganya, Ocin sukses membuat novel ‘mamaku berasa dari suku mooi’. Sekarang novel itu memiliki rating tinggi dan sangat populer.
Cerita tentang ayahnya yang seorang insinyur dari Jakarta yang ditugaskan bekerja mengeksplorasi minyak dan gas bumi di kabupaten Sorong provinsi Irian Jaya Barat. Tugas ini bertujuan sebagai bahan pengkajian, pengelompokkan, dan pemanfaatan sumber daya alam di Papua. Kabupaten itu awalnya sangat tidak disukai ayahnya, tapi ternyata disinilah ayahnya menemukan pujaan hatinya, belahan jiwanya, yaitu seseorang yang sekarang menjadi ibunya.

***

Tahun itu…
Empat hari menjelang peringatan Hari Kemerdekaan RI, pesawat Fokker milik Pelita Air Service yang saya tumpangi mendarat di Bandara Domine Eduard Osok Sorong, Papua Barat. Saya berada dalam penerbangan Jakarta-Sorong itu bersama puluhan karyawan Petrochina. Penerbangan berlangsung 4 jam, plus transit setengah jam di kota Makassar. Jam 12.30 WIT saya menjejakkan kaki pertama kalinya di kota itu. Sengatan sinar matahari menyengat kulit. Sangat panas.
Lebih dari empat kali, pada Agustus – Desember 2007, saya datang ke Bandara Domine Eduard Osok Sorong. Di ruang tunggu keberangkatan, maupun kedatangan, tidak dilengkapi dengan AC (pendingin ruangan). Begitu pula, di ruang check in boarding. Jadi, penumpang pastinya kepanasan. Apalagi, selagi menunggu barang-barang bagasi datang. Keringat bercucuran deras. Selagi kepanasan begitu, para kuli angkut barang mengerebuti. Yah, mereka agak sedikit memaksa, tawarkan jasa. Membuat suasana tambah panas, belum lagi suara orang berteriak-teriak di dalam bandara. Alih-alih disebut bandara, suasana bandara di kota Sorong ini lebih mirip dengan terminal bus di Pulo Gadung Jakarta. Bandara Domine Eduard Osok baru dua tahun beroperasi. Bandara sebelumnya, berada di Pulau Jeffman, sekitar satu jam perjalanan laut dari kota Sorong. Waktu itu, penumpang yang baru mendarat, ataupun akan berangkat, harus menggunakan longboat (perahu kayu bermesin 40 atau 80 PK, dengan kapasitas 50 orang). Sungguh repot turun dari pesawat, terus lanjut dengan perahu kayu.
Kota Sorong memiliki jalan utama sepanjang 18 kilometer saja. Tiap lokasi, diberi alamat Kilometer 1, KM-5, dan seterusnya. Bandara Domine Eduard Osok sendiri berada pada Kilometer 7. Sementara di Kilometer 18, adalah daerah perbatasan dengan “kota baru” Aimas. Di sana-sini saya temui aspal jalanan bolong-bolong, kroak. Keluhan tentang kondisi jalan yang rusak bagaikan sarapan pagi yang terdengar dari warga kota lewat siaran radio di sana. Keluar dari bandara, jalanan rusak itu sudah mulai terasa. Jika naik “taksi” di Sorong, ongkosnya jauh dekat Rp2000,00. Jangan salah, taksi di sana adalah sebutan untuk angkot, angdes. Sedangkan taksi yang seperti di Jakarta, tidak ada. Yang ada, adalah mobil carteran yang biasa mangkal di hotel-hotel, dengan harga sewa sehari (12 jam) sekitar Rp700.000,00 – Rp1.000.000,00. Orang-orang menyebutnya taksi gelap. Mobil yang dipakai, biasanya bermerk Kijang, dari yang jenis kapsul hingga Innova.
Toko-toko dan kios berjejer di sepanjang jalan Kilometer 0 hingga KM 18, di Sorong. Tapi, rumah makan, atau warung makan, warung kopi, bisa dihitung dengan jari.
“Di Sorong ini lebih banyak rumah minum daripada rumah makan,” ujar seorang rekan Awan yang berprofesi dokter, yang sudah lebih lama berada di sana.
Warung tenda kaki lima di kota itu dilokalisir di satu tempat, yang biasa disebut ‘Tembok’. Lokasinya berada persis di pinggir laut, sekitar 500 meter dari dermaga DOM, Sorong, atau dermaga speedboat dan longboat. Di Tembok anda akan menemukan warung tenda ‘Malioboro’, ‘Yogyakarta’, jawa timuran, bugis, dan banyak lainnya. Tidak ada orang asli Papua yang jualan makanan di sana. Menu di Tembok, hampir sama seperti sea food. Ikan Bubara yang paling banyak dijajakan. Kepiting, udang, juga ada. Seporsi makanan di warung tenda harganya bisa mencapai Rp50.000,00. Jika ingin yang lebih murah, pesan ayam bakar saja, sekitar Rp.20.000,00. Biasanya, pembeli datang dengan keluarga, teman, untuk makan bersama di sana. Saat itu Awan datang sendiri. Jadi, terasa mahal makan di situ.
Pusat makanan kaki lima yang lain, berada di belakang Kantor Telkom Sorong. Tapi di sini, tidak lagi warung tenda, melainkan sudah menjadi jejeran kios-kios makan. Untuk resto yang agak fancy, anda bisa datang ke Lido Kuring, sekitar 700 meteran dari Tembok. Atau bergeser agak jauh sedikit ke Raja Sea Food. Menu utama dan andalan, tentu saja, Sea Food.
Awan berada di kota Sorong untuk tugas lapangan, dalam kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi dari perusahaan patungan Pertamina Petrochina Sugihwati (PPS). Pulau Sugihwati, yang masuk dalam wilayah Kabupaten Sorong dan Kabupaten Raja Ampat. Wilayah tersebut berjarak sekitar 70 km dari kota Sorong.
Di pulau itulah Awan terlibat konflik suku mooi sekaligus bertemu dengan gadis desa yang mempesona dan sangat pemberani.
“Nama saya Vin…” ujar gadis itu dengan ramah. Saat Awan mencoba menanyakan nama gadis itu saat makan di warung tenda kaki lima.
Gadis itu mengulurkan tangannya sambil tetap melihat saya dengan hati-hati. Vin, nama yang simpel seperti terlihat dari wajahnya dan pakaian yang digunakannya. Sepertinya ia adalah anak Tuan Datuk sang pemilik warung tenda. Rambutnya sebahu. Dari penampilannya, seperti bukan orang asli suku mooi. Dia terlihat lebih pintar dan tegas daripada gadis-gadis lain di daerah suku mooi.
“Maaf… Kenapa anda melihat saya seperti itu? Apa ada yang ingin anda tanyakan?”
”Panggil saja saya Awan. Toh saya pikir usia anda tidak berbeda jauh dengan saya,” saya mencoba untuk kenal lebih jauh. Sepertinya sulit sekali mengalihkan pandangan saya dari wajahnya yang khas, antara cuek dan anggun.
“Vin putri dari Tuan Datuk ya? Tapi tidak terlihat seperti orang suku mooi. Apa Vin bukan asli orang suku mooi di sini?”
“Saya memang bukan suku mooi, hanya saja orang tua saya tugas dan pensiun disini, jadi… saya lahir dan besar di Sorong dan merasa saya adalah orang Sorong. Dan setelah kedua orang tua saya meninggal karena kecelakaan, saya bekerja dengan Tuan Datuk di warung ini. Beliau sudah seperti ayah saya sendiri”.
“Kalo saya berada di kota Sorong untuk tugas lapangan, dalam kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi dari perusahaan patungan Pertamina Petrochina Sugihwati (PPS). Vin sepertinya punya pandangan tersendiri tentang kehidupan di Sorong?”
“Pulau Sugihwati itu, yang masuk dalam wilayah Kabupaten Sorong dan Kabupaten Raja Ampat. Maksudnya ingin berbicara mengenai pembangunan, pendidikan dan kehidupan sosial di Sorong… dari hari ke hari sepertinya bukan bertambah baik, tapi malah bertambah buruk… dari Jalan utama yang dikerjakan kontraktor asal-asalan, pasar remu yang identik dengan sampah dan pengaturan angkot yang tidak jelas, kurangnya kegiatan yang positif dan terorganisir bagi anak-anak dan generasi muda, dimusim hujan banjir yang terus menerus menggenangi HBM dan sekitarnya, KM. 10, Boswesen, belakang RS Umum, juga tidak ada respon untuk pembuatan saluran pembuangan air yang baik, tembok berlin dan warung sarabah yang gelap, jual beli miras yang bebas dilakukan, pengguna jalan raya yang tidak taat rambu-rambu lalu lintas, pelayanan RS Umum yang luar binasa jika menggunakan Askes atau Astek apalagi Askin, banyaklah yang mesti dibenahi di Sorong. Kalau bukan saya dan saudara siapa lagi yang mau membawa kota Sorong tercinta ini kepada perubahan yang positif demi masa depan generasi berikutnya. Biar bagaimanapun …”
Begitulah kesan pertama Awan ketika bertemu dengan Vin. Dan setelah obrolan singkat tentang kabupaten Sorong.
Semakin hari, Awan semakin sering makan di warung tenda dan bertemu dengan Vin. Ternyata dulunya Vin pernah kuliah di Universitas Indonesia jurusan Pembangunan Ekonomi di Jakarta, tapi cuma satu tahun dan tidak dilanjutkan karena orang tuanya sakit. Padahal Vin cerdas dan memperoleh beasiswa. Vin sangat membantu Awan. Dia banyak bercerita tentang kabupaten Sorong.
“Sorong sebagai pintu masuk barang, manusia dan jasa di propinsi paling timur Indonesia menyimpan cerita hitam, mulai dari gaya pembangunan yang kapiltalitistik yang memperlebar jurang miskin dan kaya tapi juga memojokan suku mooi di tanah sorong. Saya senang sekali melihat pola percepatan pembangunan di kota ini yang merupakan tanah cukup terkenal sebagai arus perputaran ekonomi tercepat di Indonesia, namun saya pesimis dengan gaya pembangunan yang tidak menguntungkan masyarakat kota yang homogen tersebut. Kalau kita bicara soal sosiologi kota Sorong kira-kira ada yang bisa menjawab dimana mata kota Sorong, dimana jantung kota Sorong, dan dimana tangan. Siapa yang bisa menjawab? tentu jawaban pertanyaan ini cukup sulit tapi marilah dengan kerendahan lawan dari kesombongan kita menghitung siapa yang meluruskan semua ini? orang mooi adalah suku yang tidak suka kompleng banyak artinya bukan kami takluk tapi selalu bertindak berdasarkan kebenaran. Saya merasa bangga kalau siapapun yang turut merasakan pelayanan di tanah kami suku mooi karena kita semua adalah ciptaan Tuhan, hanya saja kami suku mooi yang pertama mengalami peradaban di Sorong makanya kami di sebut tuan tanah walau tersingkir...ha…ha… Aku sudah merasa seperti bagian dari suku mooi. Kami selalu tidak dipentingkan dalam berbagai urusan pembangunan di kabupaten ini. Kebanyakan para suku mooi sangat membenci orang-orang kota seperti anda yang datang ditugaskan bekerja di kabupaten. Banjir saja yang melanda kota sorong terus menerus menjadi masalah yang rumit, siapa yang harus bertanggung jawab? kita tanya pada AMDAL kota apa yang ada di isi kepala dinas soal tata ruang kota, duit atau pembangunan. Itulah sebabnya saya tidak sombong malah saya jadi beban moril karena gaya pembangunan yang kapitalistik di daerah ini”.
Dari cerita-cerita Vin, Awan semakin dekat dengannya. Dan saling jatuh cinta. Saat Awan melamar Vin dan bertemu dengan Tuan Datuk, beliau setuju saja jika anak satu-satunya dilamar seorang pemuda dari Jakarta. Tapi beliau mengajukan satu syarat bahwa Awan harus membuat suku mooi di daerah Sorong mempunyai wewenang dan kekuasaan sebagai tuan tanah.
***
Ternyata syarat itu adalah awal dari sebuah konflik di suku mooi. Para penduduk selain orang asli suku mooi tidak setuju jika ayah dan ibunya menikah. Akhirnya ayah membawa ibu ke Jakarta dan meninggalkan kabupaten Sorong karena mereka tidak diterima dan diusir oleh penduduk dan beberapa suku mooi yang tidak setuju.
Selang beberapa bulan terdengar kabar bahwa Tuan Datuk meninggal dan ibu meminta untuk kembali ke Sorong. Saat Tuan Datuk masih hidup, beliaulah yang menjadi penengah antara orang asli suku mooi dan para pendatang dari kota yang sering membuat suku mooi marah dan berbuat anarkis, seperti membakar pabrik atau mengancam akan membunuh sekalipun. Beita-berita tentang suku mooi yang anarkis juga mulai tersiar di TV.
Padahal saat itu ibu sedang hamil muda. Tapi ayah sangat mengerti bahwa ibu sangat mencintai Tuan Datuk yang merawatnya dari kecil. Ayah dan ibu pun barangkat ke Sorong. Saat itulah ayah meninggal karena ditusuk pisau oleh salah seorang suku mooi.

***

"Ocin, bangun.. Sarapanmu sudah ibu siapin di meja".
Tradisi ini sudah berlangsung 26 tahun, sejak pertama kali Ocin bisa mengingat tapi kebiasaan ibu tak pernah berubah. "Ibu, tidak perlu repot-repot bu, aku sudah dewasa," pintanya pada ibu pada suatu pagi. Wajah tua yang sering menceritakan tentang ayah itu langsung berubah.
Juga ketika ibua mengajak Ocin makan siang di sebuah restoran. Buru-buru Ocin mengeluarkan uang dan membayar semuanya, ingin membalas jasa ibu selama ini dengan hasil keringat ibu mudah sekali sedih? Ocin hanya bisa mereka-reka, mungkin sekarang fasenya dia mengalami kesulitan memahami ibu karena dari sebuah artikel yang pernah dibacanya, orang yang lanjut usia bisa sangat sensitif dan cenderung untuk bersikap kanak-kanak. Tapi entahlah. Niatnya ingin membahagiakan ibu malah membuat sedih. Seperti biasa, ibu tidak akan pernah mengatakan apa-apa.
Suatu hari kuberanikan diri untuk bertanya "Bu, maafin aku kalau telah menyakiti perasaan ibu. Apa yang bikin ibu sedih?"
Kutatap sudut-sudut mata ibu, ada genangan air mata di sana. Terbata-bata ibu berkata ,Ibu merasa kau tidak lagi membutuhkan ibu. Kau sudah dewasa, sudah bisa menghidupi diri sendiri. Ibu tidak boleh lagi menyiapkan sarapan untuk kau, ibu tidak perlu lagi jajanin kau. Semua sudah bisa kau lakukan sendiri".
Ah, Ya Tuhan, ternyata bersusah payah melayani putrinya buat seorang ibu adalah sebuah kebahagiaan. Satu hal yang tak pernah Ocin sadari sebelumnya. Niat membahagiakan bisa jadi malah membuat orang tua menjadi sedih karena kita tidak berusaha untuk saling membuka diri melihat arti kebahagiaan dari sudut pandang masing-masing. Selama ini ibu membesarkannya dan bekerja keras untuk sekolahnya. Sejak ayah meninggal ibu hidup bersama keluarga ayah di Jakarta. Setelah ibu melahirkan Ocin, sebagai orang tua tunggal beliau membesarkannya dan berusaha memberikan yang terbaik untuknya.
Tak pernah Ocin melihat ibunya bersedih dan ibu tak pernah menceritakan tentang tragedi di suku mooi yang membuat ayah meninggal, sampai pada hari itu Ocin memaksa ibu untuk menceritakannya.
Banyak cerita-cerita seputar bagaimana pendatang- pendatang kalangan birokrat sipil dan militer serta orang-orang kaya lama maupun baru dari Jayapura, Manokwari, Ambon, Makasar, Menado, Jawa, karyawan Pertamina dan kontraktor- kontraktor Pertamina serta pedagang bermodal lainnya dapat menguasai tanah- tanah strategis di kota Sorong. Fenomena inilah yang mengawali kisah terpinggirnya pemukiman suku- suku Malamoi yang dianggap sebagai pemilik adat dari tanah- tanah yang ada di kota Sorong. Hal ini juga sangat mempengaruhi gaya hidup, sikap dan cara pandang yang mengarah pada stereotipe etnik tertentu tentang pendatang dan penduduk asli termasuk interaksi yang terjadi antar mereka.
Tapi semua konflik itu sudah berakhir. Kemudian Belantara Papua mengadakan pertemuan dengan sekretaris Lembaga Masyarakat Adat Malamoi. Kemudian mengajak Belantara untuk memulai penyadaran dan resolusi konflik di masyarakat. Hal penting lainnya adalah Lembaga Masyarakat Adat dan Belantara sepakat melakukan pemetaan tanah dan inventarisasi potensi wilayah adat Malamoi, terutama area lembah Klasouh. Aksi-aksi tersebut bertujuan untuk meminimalisir konflik horisontal, penyadaran kritis, dan penyiapan pengelolaan hutan oleh rakyat secara berkelanjutan.
Dan Ocin sebagai seorang novelis telah membuat sebuah cerita kompilasi Papua. Bahkan sekarang pun ibu sangat senang karena dari novelnya akan dibuat film kompilasi Papua. Dimana didalamnya terdapat banyak kemajuan dan banyak yang memanfaatkan hukum adat suku mooi yang sedikit keras emosi dalam pemanfaatan sumber daya alam di Sorong.
Diam-diam Ocin merenungkan. Apa yang telah dipersembahkannya untuk ibu dalam usianya sekarang? Adakah ibu bahagia dan bangga pada putrinya?
Ocin bertanya pada ibu. Ibu menjawab "Banyak sekali nak kebahagiaan yang telah kau berikan pada ibu. Kau tumbuh sehat dan lucu ketika bayi adalah kebahagiaan. Kau berprestasi di sekolah adalah kebanggaan buat ibu. Setelah dewasa, kau berprilaku sebagaimana seharusnya seorang hamba, itu kebahagiaan buat ibu. Setiap kali binar mata kau mengisyaratkan kebahagiaan di situlah kebahagiaan orang tua, ibu dan almarhum ayahmu. Ayahmu orang yang sangat baik".
Lagi-lagi Ocin hanya bisa berucap "Ampunkan aku ya Tuhan kalau selama ini sedikit sekali ketulusan yang kuberikan kepada ibu. Masih banyak alasan ketika ibu menginginkan sesuatu." Betapa sabarnya ibu melalui lika-liku kehidupan.
Ibu seorang yang idealis, menata keluarga, merawat dan mendidik anak adalah hak prerogatif seorang ibu yang takkan bisa dilimpahkan kepada siapapun. Ah, maafkan aku ibu. Delapan belas jam sehari sebagai "pekerja" seakan tak pernah membuat ibu lelah. Sanggupkah aku ya Tuhan?

***

"Ocin, bangun nak.. sarapannya udah mama siapin di meja…"
Kali ini Ocin lompat segera.. membuka pintu kamar dan merangkul ibu sehangat mungkin, diciuminya pipinya yang mulai keriput, ditatapnya matanya lekat-lekat. "Terimakasih ibu, aku beruntung sekali memiliki ibu yang baik hati, ijinkan aku membahagiakan ibu." Kulihat binar itu memancarkan kebahagiaan..
Cinta ini milikmu, Ibu. Aku masih sangat membutuhkanmu… Maafkan aku yang belum bisa menjabarkan arti kebahagiaan buat dirimu..

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar